Catatanku

bagi membaca semoga bermanfaat untuk semuanya

Catatanku

bagi membaca semoga bermanfaat untuk semuanya

Jumat, 08 Mei 2015


Pengalaman Mengajar Pertama Kali Di Sekolah Dasar 


Tapi jangan membayangkan interaksi semudah itu jika Anda berhadapan dengan 45 murid di ruang kelas 2 Sekolah Dasar swasta! 45 kepala dengan 45 karakater dan tingkah laku. Di antara mereka, ada yang hobi banget teriak-teriak, ada yang usil hingga membuat kawan sebangkunya menangis, ada yang berdiri atau berbaring di bangku, dan yang terus bergerak lincah seperti bola bekel ….
Di depan bocah seperti inilah saya berdiri sebagai pengajar, pada jum’at 08 mei kemarin. Tanpa pengeras suara, tanpa alat bantu proyektor. Sejumlah teman yang terlibat dalam kegiatan yang sama, sebetulnya berinisiatif membawa peralatan yang saya sebut terakhir. Tapi saya memilih untuk tidak. Semata-mata, karena saya ingin betul-betul menjiwai apa yang dilakukan guru-guru Sekolah Dasar negeri sehari-hari.
Dan inilah yang mengawali pengalaman saya sebagai relawan di “Kelas Inspirasi”. Pengalaman yang menantang dan tak terlupakan. Mengajar anak-anak di kelas rendah di sebuah sekolah dasar swasta, dengan nol pengalaman, dengan peralatan yang serba terbatas; sungguh bukan pekerjaan mudah. Suara saya sampai serak. Otak saya jumpalitan mengerahkan semua akal untuk menaklukkan ‘hiruk-pikuk’ kelas yang mirip pasar. Saya kira, teman-teman saya sesama profesional yang tergabung dalam Kelompok 40 Kelas Inspirasi pun mengalami hal yang sama. Bahkan, di antara mereka, mungkin ada yang menandai peristiwa ini sebagai pengalaman pertama mengajar.

inspirasi Profesional
Kelas Inspirasi merupakan salah satu program yang digagas oleh yayasan Indonesia Mengajar. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mewadahi profesional dari berbagai sektor untuk ikut serta berkontribusi pada misi perbaikan pendidikan di Indonesia.
Apa yang menarik sehari berinteraksi dengan anak-anak SD negeri ini? “Yang pasti, seru! Ternyata mengajar anak kecil itu susah!” hampir semua anggota kelompok saya menyepakati kalimat ini. Lainnya, tentu rasa antusiasme lantaran ini pengalaman baru. Menyaksikan anak-anak bermata polos dengan aneka cita-cita dan mimpi, menerbitkan rasa haru tersendiri.
Pengalaman lucu, tentu juga ada. Aditya yang agaknya paling ‘imut’ di kelompok kami, bahkan sempat jadi ‘seleb’ sejenak lantaran terus dimintai foto bareng dengan bocah-bocah lucu itu.  “Saya ingin seperti ibu!” seru mereka antusias. Di kelas 5, tempat saya terakhir mengajar, murid-murid perempuannya tanpa sungkan memeluk pinggang saya, menggenggam dan mengayun-ayunkan tangan saya sembari meminta buku yang saya tulis. Sayangnya, buku itu tidak bisa saya bagikan, karena itu bacaan orang dewasa. Tapi sebagai ganti, saya berjanji akan membawakan buku-buku dongeng untuk anak-anak.
Hingga saya di perjalanan pulang, interaksi dengan mereka terus berlangsung. Facebook saya di-add, twitter saya di-follow. Atikah menelpon dan mengirim sms, “bu, saya anak sdn negeri 01 kebun jeruk yang tadi minta buku ke ibu atikah kelas 5 aku mau tanya ibu aku ingin jadi penulis cerita tapi aku ga tau cara daftarnya? Oh ya ibu apa sih zodiak ibu?” Nawal Namira menulis di twitter, “pengen jd penulis kaya @anamustamin. Time for bikin dongeng skrng. dari pada gk ada kerjaan bsk masukin email deh mudah2an dimuat y crt nya??” dilanjutkan, “kita pakai kertas biasa atau pakai koran bu?” Duhhh, membaca pesan dan kepolosan mereka, benar-benar membuat saya kehilangan kata….
Di luar itu, saya mau tidak mau ‘dipaksa’ untuk mengenang kembali jasa guru SD saya, terutama saat di kelas 1 dan 2. Tak pernah terbayangkan sebelumnya betapa luar biasanya kesabaran, kegigihan, kasih sayang dan dedikasi mereka. Di meja makan pada Jum’at malam itu, saya berbagi cerita dengan ibu kandung saya yang kini berusia 50 tahun, dengan perasaan yang sulit saya lukiskan. Membayangkannya kembali berdiri dan menyeru di depan kelas, sementara saya bergerak seperti bola bekel… Yup, ibu saya adalah guru saya di kelas 2 SD!!! ***




Tidak ada komentar:

Posting Komentar