Pengalaman Mengajar Pertama Kali Di Sekolah Dasar
Tapi jangan membayangkan interaksi semudah itu jika
Anda berhadapan dengan 45 murid di ruang kelas 2 Sekolah Dasar swasta! 45
kepala dengan 45 karakater dan tingkah laku. Di antara mereka, ada yang hobi
banget teriak-teriak, ada yang usil hingga membuat kawan sebangkunya menangis,
ada yang berdiri atau berbaring di bangku, dan yang terus bergerak lincah
seperti bola bekel ….
Di depan bocah seperti inilah saya berdiri sebagai
pengajar, pada jum’at 08 mei kemarin. Tanpa pengeras suara, tanpa alat bantu
proyektor. Sejumlah teman yang terlibat dalam kegiatan yang sama, sebetulnya
berinisiatif membawa peralatan yang saya sebut terakhir. Tapi saya memilih
untuk tidak. Semata-mata, karena saya ingin betul-betul menjiwai apa yang
dilakukan guru-guru Sekolah Dasar negeri sehari-hari.
Dan inilah yang
mengawali pengalaman saya sebagai relawan di “Kelas Inspirasi”. Pengalaman yang
menantang dan tak terlupakan. Mengajar anak-anak di kelas rendah di sebuah
sekolah dasar swasta, dengan nol pengalaman, dengan peralatan yang serba
terbatas; sungguh bukan pekerjaan mudah. Suara saya sampai serak. Otak saya
jumpalitan mengerahkan semua akal untuk menaklukkan ‘hiruk-pikuk’ kelas yang
mirip pasar. Saya kira, teman-teman saya sesama profesional yang tergabung
dalam Kelompok 40 Kelas Inspirasi pun mengalami hal yang sama. Bahkan, di
antara mereka, mungkin ada yang menandai peristiwa ini sebagai pengalaman
pertama mengajar.
inspirasi Profesional
Kelas Inspirasi merupakan salah satu program yang digagas oleh yayasan
Indonesia Mengajar. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mewadahi profesional dari
berbagai sektor untuk ikut serta berkontribusi pada misi perbaikan pendidikan
di Indonesia.
Apa yang menarik sehari berinteraksi dengan anak-anak SD negeri ini? “Yang
pasti, seru! Ternyata mengajar anak kecil itu susah!” hampir semua anggota
kelompok saya menyepakati kalimat ini. Lainnya, tentu rasa antusiasme lantaran
ini pengalaman baru. Menyaksikan anak-anak bermata polos dengan aneka cita-cita
dan mimpi, menerbitkan rasa haru tersendiri.
Pengalaman lucu, tentu juga ada. Aditya yang agaknya paling ‘imut’ di
kelompok kami, bahkan sempat jadi ‘seleb’ sejenak lantaran terus dimintai foto
bareng dengan bocah-bocah lucu itu. “Saya ingin seperti ibu!” seru mereka antusias. Di kelas 5, tempat
saya terakhir mengajar, murid-murid perempuannya tanpa sungkan memeluk pinggang
saya, menggenggam dan mengayun-ayunkan tangan saya sembari meminta buku yang
saya tulis. Sayangnya, buku itu tidak bisa saya bagikan, karena itu bacaan
orang dewasa. Tapi sebagai ganti, saya berjanji akan membawakan buku-buku
dongeng untuk anak-anak.
Hingga saya di perjalanan pulang, interaksi dengan mereka terus
berlangsung. Facebook saya di-add, twitter saya di-follow. Atikah menelpon dan
mengirim sms, “bu, saya anak sdn negeri 01 kebun jeruk yang tadi minta buku ke
ibu atikah kelas 5 aku mau tanya ibu aku ingin jadi penulis cerita tapi aku ga
tau cara daftarnya? Oh ya ibu apa sih zodiak ibu?” Nawal Namira menulis di
twitter, “pengen jd penulis kaya @anamustamin. Time for bikin dongeng skrng.
dari pada gk ada kerjaan bsk masukin email deh mudah2an dimuat y crt nya??”
dilanjutkan, “kita pakai kertas biasa atau pakai koran bu?” Duhhh, membaca
pesan dan kepolosan mereka, benar-benar membuat saya kehilangan kata….
Di luar itu, saya mau tidak mau ‘dipaksa’ untuk mengenang kembali jasa guru
SD saya, terutama saat di kelas 1 dan 2. Tak pernah terbayangkan sebelumnya
betapa luar biasanya kesabaran, kegigihan, kasih sayang dan dedikasi mereka. Di
meja makan pada Jum’at malam itu, saya berbagi cerita dengan ibu kandung saya
yang kini berusia 50 tahun, dengan perasaan yang sulit saya lukiskan.
Membayangkannya kembali berdiri dan menyeru di depan kelas, sementara saya
bergerak seperti bola bekel… Yup, ibu saya adalah guru saya di kelas 2
SD!!! ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar